Senin, 26 Desember 2016

IBD ( Etnis Peranakan di Singapura) Guna Melengkapi nilai UAS



TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
Budaya Asia-Eropa
(Etnis Peranakan di Negara Singapura)



Disusun Oleh :
Koni Larasati
16430001
Ilmu Hubungan Internasional
Disusun guna melengkapi nilai Ulangan Akhir Semester (UAS)











KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat dan karunianya  sehingga kita masih bisa merasakan nikmat yang diberikan kepada kita, lebih-lebih lagi dalam nikmat iman.
Shalawat beserta salam tidak lupa kita lantunkan kepada jujungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah bersusah payah membawa kiat dari alam kegelapan menuju alam yang penuh ilmu pengetahuan. Untuk itu mari kita berselawat kepada beliau agar mendapat syafaat.
Kami sebagai penulis sebelumnya meminta maaf apabila dalam penulisan makalah tentang Sejarah kelompok etnis peranakan di singapura, ini banyak terdapat kesalahan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan perbaikan dan kritikan yang bersifat membangun dari pembaca. Guna perbaikan  yang akan datang.



Surakarta, 26 Desember 2016



PENULIS












BAB I

PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang
Dalam pengertian persentase etnis, penduduk Singapura relatif stabil, semenjak pertengahan abad ke-19. Perubahan demografik yang mengesankan terjadi pada awal abad ke-19, ketika penduduk Cina secara perlahan mulai mengambil alih menjadi penduduk mayoritas yang menonjol dibanding yang bersuku Melayu. Sejak tahun 1891 jumlah penduduk Cina Singapura adalah 67.1%, Melayu 19.7%, India 8.8% dan yang lain-lain, termasuk Eropa dan Arab, 4.3%. Sensus yang dilakukan pada tahun 1990 menunjukkan keseluruhan penduduk Singapura berjumlah 2.7 jutaorang. Komposisi penduduknya terdiri dari mayoritas Cina dengan 77.7%, Melayu14.1%, India 7.1 % dan warga lainnya 1.1%. Sementara itukalau jumlah penduduk dilihat dari komposisi keagamaannya pada sensus yangsama tahun 1990 adalah sebagai berikut: pengikut Budhha 31.1%; Taoisme 22.4%;Islam 15.3%; Kristen 12.5%; Hindu 3.7% dan agama lain 0.6% (Sharon Siddique,1995:1). Dilihat dari komposisi keagamaan, etnis Melayu secara mayoritasmerupakan pemeluk agama Islam. Atau bahkan bisa dikatakan bahwa etnis Melayu berarti Islam.
Islam di Singapura merupakan agama minoritas. Berdasarkan data pada 2008, sekitar 15 persen penduduk Singapura yang jumlahnya 4.839.000 adalah Muslim. Mayoritas kelompok etnik Melayu di Singapura memeluk Islam. Selain itu,pemeluk Islam meliputi kelompok etnik India dan Pakistan, juga sejumlah kecilkelompok etnik Cina, Arab, dan Eurasia. Sekitar 17 persen muslimin Singapura berasal dari kelompok etnik India. Kaum muslim di Singapura secara tradisi merupakan muslim Sunni yang mengikuti mazhab Syafi’i. Sebagian muslim Singapura mengikuti mazhab Hanafi. Ada juga kelompok muslim Syiah di Singapura.
Komposisi penduduk Melayu yang 14.1% adalah sama dengan 380.600 orang. Dilihat Pendidikan Sekolah Menengah Atas 3.5% dan Pendidikan Tinggi 1.4%. Sedang apabila dilihat dari komposisi pekerjaannya adalah: Bidang Teknik dan Professional9.7%; Bidang Administrasi dan Managerial 1.1%; Ulama dan Guru Agama/ProfesiKeagamaan 15.4%; Sales dan Servis 14.0%: Pertanian dan Nelayan 0.3%; Produksidan Relasi 13 57% dan lain-lain 2.5%. Mengenai partisipasi kerja antara laki-lakidan perempuan adalah: laki-laki pekerja 78.3% dan wanita pekerja 47.3% (SharonSiddique, 1995:4). Dalam dua puluh tahun, antara tahun 1970 sampai tahun 1990,menurut Sharon Siddique, telah terjadi perubahan yang dramatis atas Muslim-Melayu Singap.



B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja istilah-istilah dari etnis peranakan?
2. Bahasa apa saja yang digunakan oleh etnis peranakan?
3. Agama apa yang di anut dalan etnis peranakan?


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEJARAH ETNIS PERANAKAN 


Orang Peranakan, Tionghoa Peranakan (atau hanya "Peranakan", dan "Baba-Nyonya" di Malaysia) adalah istilah yang digunakan oleh para keturunan imigran Tionghoa yang sejak akhir abad ke-15 dan abad ke-16 telah berdomisili di kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia), termasuk Malaya Britania (sekarang Malaysia Barat dan Singapura). Di beberapa wilayah di Nusantara sebutan lain juga digunakan untuk menyebut orang Tionghoa Peranakan, seperti "Tionghoa Benteng" (khusus Tionghoa-Manchu di Tangerang) dan "Kiau-Seng" (di era kolonial Hindia Belanda).

Anggota etnis ini di Malaka, Malaysia menyebut diri mereka sebagai "Baba-Nyonya". "Baba" adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan "Nyonya" istilah untuk wanitanya. Sebutan ini berlaku terutama untuk populasi etnis Tionghoa dari Negeri-Negeri Selat di Malaya kala era kolonial, Pulau Jawa yang kala itu dikuasai Belanda, dan lokasi lainnya, yang telah mengadopsi kebudayaan Nusantara - baik sebagian atau seluruhnya - dan menjadi lebih berasimilasi dengan masyarakat pribumi setempat. Banyak etnis ini yang merupakan kaum elit Singapura, lebih setia kepada Inggris daripada Tiongkok. Sebagian besar telah tinggal selama beberapa generasi di sepanjang selat Malaka dan sebagian besar telah memiliki garis keturunan dari perkawinan dengan orang Nusantara pribumi dan Melayu. Etnis Peranakan biasanya merupakan pedagang, perantara antara Inggris dan Tiongkok, atau Tionghoa dan Melayu, atau juga sebaliknya karena mereka dididik dalam sistem Inggris. Karena itu, orang Peranakan hampir selalu memiliki kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa atau lebih. Dalam generasi selanjutnya, banyak yang telah kehilangan kemampuan untuk berbicara rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan budaya Semenanjung Malaya dan telah berbicara lancar Bahasa Melayu sebagai bahasa pertama atau kedua.

Istilah "Peranakan" paling sering digunakan di kalangan etnis Tionghoa bagi orang keturunan Tionghoa, di Singapura dan Malaysia orang keturunan Tionghoa ini dikenal sebagai Tionghoa Selat (土生華人; karena domisili mereka di Negeri-Negeri Selat), namun ada juga masyarakat Peranakan lain yang relatif kecil, seperti India Hindu Peranakan (Chetti), India Muslim Peranakan (Jawi Peranakan atau Jawi "Pekan") (Abjad Jawi menjadi tulisan Arab yang telah di-Jawa-kan,"Pekan" adalah istilah sehari-hari yang telah mengalami kontraksi pengucapan dari "Peranakan"[3]) dan Peranakan Eurasia (Kristang) (Kristang = Kristen). Kelompok ini memiliki hubungan paralel dengan orang Hokkian Kamboja, yang merupakan keturunan Tionghoa Hoklo. Mereka mempertahankan sebagian budaya mereka meskipun bahasa asli mereka secara bertahap menghilang beberapa generasi setelah bermukim.


B.     KAUM PERANAKAN



Kaum Peranakan di Singapura merupakan perpaduan yang menarik dari budaya-budaya di wilayah ini. Selera pedas Melayu yang memengaruhi cita rasa hidangan Peranakan sangat umum dijumpai dalam kelompok etnis ini. Peranakan merupakan paduan yang menarik dari budaya-budaya di wilayah ini. Istilah Peranakan mengacu kepada orang-orang yang diturunkan dari pernikahan lelaki Tiongkok atau India dan perempuan Melayu lokal atau Indonesia yang dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara. Peranakan Tionghoa, atau kaum Tionghoa Semenanjung, di Singapura dapat melacak asal muasal mereka ke Melaka abad ke-15, ketika leluhur mereka, para pedagang Tiongkok, menikahi wanita Melayu setempat.
Ada juga Chitty Melaka, atau Peranakan India, keturunan dari pernikahan antara pedagang Hindu India Selatan dan wanita setempat, serta Peranakan Jawi, yang diturunkan oleh pernikahan lintas ras antara pedagang Muslim-India Selatan dan wanita dari masyarakat setempat. Banyak di antara kaum Peranakan mula-mula menjadi pedagang dan membuka toko, sementara yang lain terjun ke sektor properti, pelayaran, dan perbankan. Meskipun banyak orang Tionghoa Semenanjung berasimilasi dengan komunitas Tionghoa yang lebih luas, mereka masih memelihara ciri-ciri budaya yang khas – terutama dalam makanan dan busana tradisional mereka.
Hidangan Nonya, yang dinamai berdasarkan para wanita yang mengolahnya, menerima pengaruh yang kuat dari Melayu dan Indonesia dalam penggunaan santan dan rempah-rempah. Busana tradisional wanita Peranakan, yang dikenal sebagai Nonya Kebaya, menampilkan detail-detail yang dibordir dengan indah.
Etnis peranakan merupakan perpaduan antara budaya – budaya yang berkembang di Singapura. Istilah peranakan ini mengacu pada orang – orang keturunan dari laki – laki Tiongkok atau India dan perempuan Melayu lokal atau Indonesia. Bidang pekerjaan dari etnis peranakan ini menjadi seorang pedagang dan membuka toko – toko, properti, pelayaran, dan perbankan. Etnis peranakan ini memiliki pakaian tradisional yang dikenal dengan Kebaya Nonya. Kebaya ini dipengaruhi oleh Sarong Kebaya Melayu.
Lebih lanjut, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negara Singapura yaitu Budha atau Tao dan Konfusius, sekitar 50 %, Islam, Kristen, sekitar 15 %, dan Katolik. Agama Islam, mayoritas di anut oleh penduduk yang beretnis India atau Pakistan. Lebih lanjut, agama lain yang juga dianut oleh penduduk Singapura yaitu Kong Hu Chu dan Hindu sekitar 5 %.Meskipun terdapat keragaman penduduk, namun di negara Singapura ini tidak pernah terjadi kerusuhan maupun pertikaian yang terjadi di antara umat beragama. Sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan di Singapura ini sangat teratur, aman, dan tenang.
Bahasa resmi yang digunakan oleh penduduk negara Singapura yaitu bahasa Inggris. Sedangkan, bahasa ibu yang pada umumnya digunakan dalam percakapan sehari – hari, antara lain bahasa Melayu, bahasa Mandarin, dan bahasa Tamil. Akibat dari adanya keragaman bahasa yang digunakan, maka bahasa inggris di Singapura mengalami perubahan yang dapat berpengaruh pada logat maupun struktur dari bahasanya. Kondisi tersebut menyebabkan perbedaan dengan bahasa Inggris yang biasa digunakan.
Bahasa Inggris yang dimiliki oleh negara Singapura mengandung struktur melayu. Hak tersebut kadang menjadikan orang asing sulit mengerti. Bahasa Inggri Singapura yang unik ini disebut dengan Singlish atau Singaporean English.













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Etnis peranakan merupakan paduan yang menarik dari budaya-budaya di wilayah ini. Istilah Peranakan mengacu kepada orang-orang yang diturunkan dari pernikahan lelaki Tiongkok atau India dan perempuan Melayu lokal atau Indonesia yang dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara. Istilah "Peranakan" paling sering digunakan di kalangan etnis Tionghoa bagi orang keturunan Tionghoa, di Singapura dan Malaysia orang keturunan Tionghoa ini dikenal sebagai Tionghoa Selat.





Jumat, 23 Desember 2016

Sejarah Museum Sangiran



TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
(Sejarah Museum Sangiran)

Disusun Oleh:
Koni Larasati
16430001
Ilmu Hubungan Internasional









KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Salam dan salawat semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita ke arah yang benar, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul Sejarah Museum Sangiran. Terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah memberikan kesempatan untuk mengerjakan makalah ini, dan ibu dan bapak dirumah yang memfasilitasi dan memberikan doanya untuk kelancaran penulisan ini, dan teman-teman sekalian yang membantu.
Dalam penyusunan makalah ini mungkin terdapat banyak kesalahan, maka saran dan kritikan dibutuhkan untuk bias memperbaiki kesalahan dalam penulisan makalah ini.















BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan pemerintah  untuk memperoleh  devisa  dari  penghasilan non migas. Peranan  pariwisata  dalam pembangunan nasional, disamping sebagai sumber perolehan devisa  juga  banyak  memberikan  sumbangan  terhadap  bidang-bidang  lainnya,  diantaranya menciptakan  dan memperluas  lapangan  usaha, meningkatkan  pendapatan masyarakat dan pemerintah, mendorong pelestarian lingkungan  hidup dan budaya bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia mempunyai  potensi  besar  untuk menjadi  kawasan  tujuan  wisata  dunia,  karena  mempunyai  tiga  unsur  pokok  yang  membedakan  Indonesia dengan negara lain. Hal tersebut merupakan daya tarik wisatawan  untuk  mengunjungi  Indonesia,  karena  rasa  keingintahuannya,  potensi  pertama adalah masyarakat (people), masyarakat Indonesia terkenal dengan  keramahannya  dan  bisa  bersahabat  dengan  bangsa  manapun,  potensi  kedua  adalah  alam  (nature  heritage),  Indonesia  mempunyai  alam  yang  indah,  yang  tidak  dipunyai  negara-negara  lain, misalnya  pegunungan  yang  ada  di  setiap  pulau,  pantai  yang  indah,  goa,  serta  hamparan  sawah  yang  luas  dan  enak  untuk  dinikmati,  potensi  ketiga  adalah  budaya  (cultural  heritage),  Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan budaya yang beragam. Setiap suku, Kota, dan pulau mempunyai ciri khas, baik dari  segi logat, baju, bangunan rumah, musik, maupun upacara-upacara adat dan  transportasi  tradisionalnya,  semuanya  menjadi  ciri  khas  bangsa  Indonesia  sebagai  bangsa  yang  kaya  budaya,  ketiga  unsur  tersebut  yang  akan  mendukung pesatnya kemajuan pariwisata Indonesia. Indonesia  dikenal  mempunyai  sejarah  dan  budaya  yang  beraneka  ragam,  budaya  juga meliputi  sistem  pengetahuan  dan  sistem  ide  gagasan  yang  diciptakan  oleh  manusia  sebagai  makhluk  yang  berbudaya,  berupa  perilaku  dan  benda-benda  yang  bersifat  nyata,  seperti  pola-pola  perilaku,  bahasa,  peralatan  hidup,  organisasi  sosial,  religi,  seni  dan  lain-lain,  yang semuanya  ditujukan  untuk  membantu  manusia  dalam  melangsungkan  kehidupan  bermasyarakat.


B.     RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah terbentuknya Museum Purbakala Sangiran?
2.  Bagaimana pemeliharaan dan pelestarian benda-benda yang terdapat  di museum sangiran
3.  Bagaimana pengembangan situs sangiran?

C.    TUJUAN PENULISAN
Agar penulis mendapatkan pengetahuan tentang sejarah terbentuknya museum Sangiran Purbakala. Serta sejarah-sejarah yang ada di dalamnya.

D.    MANFAAT PENULISAN
1. Mengenali keadaan geologi umum daerah Sangiran dan membandingkannya dengan data literatur.
2. Menambah pengetahuan tentang Museum Purbakala Sangiran
3. Menambah referensi tentang Museum Purbakala Sangiran











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah terbentuknya Museum Purbakala Sangiran
Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia. Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen).  Gapura Situs Sangiran berada di jalur jalan raya Solo–Purwodadi dekat perbatasan antara Gemolong dan Kalioso (Kabupaten Karanganyar). Gapura ini dapat dijadikan penanda untuk menuju Situs Sangiran, Desa Krikilan. Jarak dari gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan ± 5 km.
itus Sangiran memunyai luas sekitar 59, 2 km² (SK Mendikbud 070/1997) secara administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan, yaitu: Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto & Simanjuntak, 1995). Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang ke 20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5 Desember 1996, menetapkan Sangiran sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia “World Heritage List” Nomor : 593. Dengan demikian pada tahun tersebut situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Pada awalnya Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau. Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald. Di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga 200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini. Relatif utuh pula. Sehingga para ahli dapat merangkai sebuah benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara berurutan.
Bentang lahan situs tersebut meliputi areal seluas ± 48 km2 yang berbentuk seolah seperti kubah (dome), sehingga situs tersebut dinamakan dengan Sangiran Dome. Situs Sangiran merupakan salah satu situs manusia purba yang sangat berperan penting dalam perkembangan penelitian di bidang palaeoanthropology di Indonesia. Pada tahun 1934 penelitian yang dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald yang menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Sangiran Dome.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di laipsan-lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan lapisan Ngandong.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampu merupakan kawasan subur tempat sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah katulistiwa, pada jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran pada kala pleistocen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada masa itu.
Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala pleistocen. Mereka membuat pangkalan (station) dalam aktifitas perburuan untuk m,endapatkan sumber kebutuhan hidupnya. Pilihan situs Sangiran dome sebagai pangkalan aktifitas perburuan mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto & Simanjuntak 1995).
Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR. Von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan kalsedon di sekitar bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936). Temuan alat-alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah ‘Sangiran Flakes-industry’ tersebut diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah. Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943; Heekeren, 1972) karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton (Bartstra dan Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil pengendapan primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya. Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia (antara lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang sangat ‘spektakuler’ terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Perancis melalui ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989 – 1993) di bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara ‘insitu’ dan pertanggalan absolut yang sangat menarik. Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu (Widianto 1997; Jatmiko 2001).


Pemeliharaan dan pelestarian benda-benda yang terdapat di  Museum Sangiran
Sebanyak 50 (lima puluh) individu fosil manusia Homo erectus telah ditemukan. Jumlah ini mewakili 65 %  dari fosil Homo erectus yang ditemukan di seluruh Indonesia atau sekitar 50 % dari populasi Homo erectus  di dunia .Keseluruhan fosil yang telah ditemukan sampai saat ini adalah sebanyak 13.809 buah. Sebanyak 2.934 fosil disimpan di Ruang Pameran Museum Sangiran dan 10.875 fosil lainnya disimpan di dalam gudang penyimpanan. Dilihat dari hasil temuannya, Situs Sangiran merupakan situs pra sejarah yang memiliki peran yang sangat penting dalam memahami proses evolusi manusia dan merupakan situs purbakala yang paling lengkap di Asia bahkan di dunia. Berdasarkan hal tersebut, Situs Sangiran ditetapkan sebagai Warisan Dunia nomor 593 oleh Komite World Heritage pada saat peringatan ke-20 tahun di Merida, Meksiko.


Koleksi Museum Sangiran
1. Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus , Pithecanthropus mojokertensis (Pithecantropus robustus ), Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus, Homo soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .
2. Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera .
4. Batu-batuan , antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis
5. Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak
6.Koleksi lainnya
a.       Fosil kayu yang terdiri dari:
·         Fosil kayu
Temuan dari Dukuh Jambu, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar. Ditemukan pada tahun 1995 pada lapisan tanah lempung warna abu-abu ditemukan pada formasi pucangan
·         Fosil batang pohon
Temuan dari Desa krikilan , Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Fosil ini ditemukan pada tahun 1977 pada lapisan tanah lempung Warna abu-abu dari endapan ditemukan pada Formasi pucangan
b.Tulang hasta (Ulna) Stegodon Trigonocephalus
Ditemukan di kawasan cagar sangiran pada tanggal 23 november 1975 di tanah lapisan lempung warna abu –abu Formasi kabuh bawah.
c.Tulang paha
Ditemukan dari Desa Ngebung, Kecamatan kalijambe, Kabupaten Sragen pada tanggal 4 Februari 1989 pada lapisan tanah lempung warna abu – abu dari endapan ditemukan pada formasi pucangan atas.
d.Tengkorak kerbau
Ditemukan oleh Tardi Pada tanggal 20 November 1992 di Dukuh Tanjung, Desa Dayu Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar pada lapisan tanah Warna coklat kekuning-kunginan yang bercampur pasir ditemukan formasi kabuh berdasarkan penanggalan geologi berumur 700.000-500 tahun
e. Gigi Elephas Namadicus
Ditemukan di situs cagar budaya sangiran Pada tanggal 12 Desember 1975, Pada lapisan tanah pasir bercampur kerikil berwarna cokelat ditemukan pada Formasi kabuh
Ø  Fragmen gajah purba
Hidup di daerah cagar budaya sangiran. Jenisnya adalah:
ü  Mastodon
ü  Stegodon
ü  Elephas
f.Tulang rusuk (Casta) Stegodon Trigonocephalus
Ditemukan oleh Supardi pada tanggal 3 Desember 1991 di Dukuh Bukuran, Desa Bukuran Kecamatan kalijambe Kabupaten Sragen pada lapisan lempung warna abu – abu dari endapan pucangan atas.
g.Ruas tulang belakang (Vertebrae)
Ditemukan di situs cagar budaya sangiran pada tanggal 15 Desember 1975 di lapisan tanah pasir berwarna abu – abu pada formasi kabuh bawah.
h.Tulang jari (Phalanx)
Ditemukan di situs sangiran pada tanggal 28 oktober 1975 pada lapisan tanah pasir kasar warna cokelat kekuning-kuningan pada formasi kabuh.
i. Rahang atas Elephas Namadicus
Rahang ini dilengkapi sebagian gading ditemukan oleh Atmo di Dukuh Ngrejo, Desa Samomorubuh Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen pada tanggal 24 April 1980 pada lapisan Grenz bank antara formasi pucangan dan kabuh.
j.Tulang kaki depan bagian atas (Humerus)
Bagian fosil ditemukan oleh Warsito Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen pada tanggal 28 Desember 1998 pada lapisan tanah lempung warna abu – abu dari formasi pucangan atas kala pleistosen bawah
k.Tulang kering
Ditemukan oleh Warsito di Dukuh Bubak Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen pada tanggal 4 januari 1993 lapisan tanah lempung warna abu – abu dari formasi pucangan atas.
l.        Fosil Molusca
a.       Klas Pelecypoda
b.      Klas Gastropoda
m.    Binatang air
ü  Tengkorak buaya (Crocodilus Sp.) ditemukan pada tanggal 17 Desember 1994 oleh Sunardi di Dukuh Blimbing, Desa Ngebung, Kecamatan kalijambe kabupaten Sragen pada formasi pucangan
ü  Kura – kura (Chlonia Sp.) ditemukan pada tanggal 1 Februari 1990 oleh hari Purnomo Dukuh Pablengan, Desa krikilan , Kecamatan Kalijambe, kabupaten Sragen pada Formasi pucangan
ü  Ruas tulang belakang ikan ditemukan pada tanggal 20 November 1975 oleh Suwarno di Desa Bukuran, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen pada formasi pucangan
Selain mendirikan museum situs prasejarah sangiran untuk menjaga kawasan sangiran, pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang tentang perlindungan cagar budaya sangiran, yaitu:
1)      Mengeluarkan SK. Mendikbud No. 70 / 111 / 1977 dan menetapkan sangiran sebagai cagar budaya. Semua fosil-fosil di wilayah sangiran dilindungi dan setiap temuan harus diserahkan kepada pemerintah.
2)      UU No. 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya yang lebih keras yaitu, menetapkan sangiran sebagai cagar budaya ( UNESCO )
Meskipun pemerintah telah membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan cagar budaya, tetapi pada kenyataannya masih mengalami beberapa masalah yaitu;
a.Daerah yang seluas 32 km² hanya diawasi oleh tenaga yang sangat terbatas. Daerah itu hanya dijaga oleh 27 personil, termasuk 8 orang bertugas sebagai satpam.
b.Adanya tradisi memberi hadiah terhadap penemu fosil yang telah berlangsung sejak jaman pendudukan Belanda.
c.Para pembeli asing menawarkan harga yang lebih tinggi dibandingkan dari pemerintah, sehingga banyak penduduk setempat yang menjual fosil temuannya kepada pembeli asing.

D. Pengembangan Museum Purbakala Sangiran
Sejak dibangun pada 2005 silam, museum sangiran yang terletak di Kecamatan Kalijambe, akhirnya diresmikan penggunaannya  oleh Wakil Menteri pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan yang juga sebagai pembuat Desain Engginering Plan Sangiran, Prof Dr. Windu Nuryati, PHD. Dua puluh tahun silam tempat tersebut masih berupa joglo sederhana yang dijadikan tempat pengumpulan fosil-fosil purba oleh kepala desa Krikilan, Toto Marsono. Kini, ditanah yang berusia 1,8 juta tahun itu telah berdiri megah sebuah bangunan museum bertaraf internasional. Berbagai rangkaian acara digelar mengiringi peresmian museum, mulai dari seminar internasional yang mendatangkan 100 pakar arkelologi di dunia hingga pelaksanaan penggailian di Sangiran bersama ilmuwan dari Uni Eropa. Selain itu, pada acara tesebut diserahkan rekonstruksi rangka kuda air berusia 1,2 juta tahun yang ditemukan di Bukuran oleh tim gabungan Indonesia – Perancis. Museum Sangiran berdiri di dalam Cluster Krikilan yang merupakan Cluster pertama yang telah selesai dibangun. Masih ada tiga Cluster lainnya yang akan mulai dibangun tahun depan, yaitu Cluster Ngebung, Cluster Bukuran, keduanya terletak di wilayah Kab. Sragen, dan Cluster Ndayu yang terletak di wilayah Kab. Karanganyar.
Tiap Cluster tersebut akan menjadi pusat-pusat penelitian zaman purba sesuai masing-masing bagiannya. Misalnya Cluster Ndayu akan dijadikan pusat penelitian arkeologi mutakhir dan Cluster Ngebung akan menjadi pusat sejarah temuan fosil. Pembangunan Cluster akan melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sragen serta Kabupaten Karanganyar. Selain itu ada beberapa upaya pemerintah yang dicanangkan untuk mengembangkan situs Manusia Purba Sangiran antara lain :
·         Melengkapi kompleks Museum Manusia Purba Sangiran dengan bangunan audio visual di sisi timur museum. Dan Bupati Sragen mengubah interior ruang kantor dan ruang pertemuan menjadi ruang pameran tambahan.
·         Pemerintah merencanakan membuat museum yang lebih representative menggantikan museum yang ada secara bertahap. Didirikan bangunan perkantoran tiga lantai yang terdiri dari ruang basemen untuk gudang, lantai I untuk Laboratorium, dan lantai II untuk perkantoran. Program selanjutnya adalah membuat ruang audio visual, ruang transit untuk penerimaan pengunjung, ruang pameran bawah tanah, ruang pertemuan, perpustakaan, taman purbakala, dan lain-lain.
·         Menghadirkan investor – investor guna memaksimalkan pengadaan pembangunan yang lebih lanjut dengan didukung fasilitas – fasilitas yang memadai.
·         Melakukan beberapa pengenalan – pengenalan mengenai Situs Purbakala Sangiran kepada publik nasional.
Museum Sangiran yang mempunyai 14.000 an koleksi fosil ini menawarkan tiga titik wisata purba yang menakjubkan. Di museum I, pengunjung dapat menyaksikan pameran fosil-fosil asli dan peralatan manusia purbakala. Kemudian dimuseum II dihadirkan 12 langkah kemanusiaan, mulai dari terciptanya alam, terbentuknya kepulauan Indonesia dan Jawa, kedatangan manusia pertama, proses evolusi sekitar 1,5 juta tahun lalu dan perkembangannya hingga menjadi manusia modern. Sedang museum III dipertunjukkan tentang zaman keemasan Homo Erectus Sangiran yang bterjadi sekitar 500.000 tahun .
Pengumpulan fosil – fosil Sangiran tidak terlepas dari peran serta Masyarakat Krikilan. Peresmian pada tanggal 15 Desember 2011 bertepatan dengan peristiwa lima tahun silam 15 Desember 2006, waktu itu terjadi peristiwa penting di Meridian Mexico, dimana Pemerintah Indonesia menerima tanda pengesahan Situs Sangiran ditetapkan sebagai warisan dunia. Bupati Sragen mengharapkan Situs Sangiran yang sangat membanggakan namun kadang kurang dikenal oleh masyarakat Sragen sendiri mengharapkan agar bisa dinikmati oleh  semua kalangan tidak hanya kalangan peneliti. Sragen telah menjadi City of Java Man yang memiliki situs yang mengungkap rahasia sejarah manusia purba. Di situs kebanggaan ini memuat cerita tak terputus sejarah perjalanan manusia purba hingga menjadi manusia modern. Dan di tanah yang telah berusia lebih dari 1,8 juta tahun ini ternyata masih banyak menyimpan fosil-fosil purba yang bisa digali, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk menemukan fosil-fosil ini dan menyerahkannya kepada pemerintah Indonesia.




LAMPIRAN



Foto Narasumber